
RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden menjadi Undang-Undang pada 20 September 2022. Kehadiran UU perlindungan data ini diharapkan bisa menjadi instrumen hukum untuk mengatur secara spesifik perlindungan data pribadi di tengah maraknya kebocoran data pribadi yang justru berasal dari lembaga pemerintah.
Warek III (Sistem Informasi dan Keuangan) sekaligus Kepala Operator Sistem Kampus, Fujiama Diapoldo, mengatakan inisiasi RUU perlindungan data ini sudah sejak 2012 lalu, namun lahirnya bisa disahkan menjadi Undang-Undang pada 10 tahun kemudian. Meski terkesan terlambat, namun ia mengapresiasi bahwa akhirnya kita memiliki UU perlindungan data pribadi. "Di tingkat UU, sudah ada 120 negara di dunia memiliki UU PDP. Kita mungkin masuk ke-127. Di Asean sendiri, kita berada di urutan kelima setelah Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand," kata Fujiama Diapoldo dalam Diskusi yang bertajuk "Peningkatan Literasi Digital di Lingkungan Kampus" Di ruang zoom meeting, Jumat (23/9).
Menurut pandangan Fujiama pengesahan UU PDP sebenarnya bisa
mengakomodasi kebutuhan kampus selama ini yang merasa dirugikan
akibat kebocoran data pribadi. Meski demikian, UU tersebut menurutnya
perlu mendapat catatan kritis dalam berbagai hal diantaranya pada
perlindungan kelompok rentan dan termarjinalkan.
Namun, yang tidak kalah penting dari kemunculan UU PDP menurut Fujiama sebaiknya harus diikuti dengan peningkatan edukasi literasi digital pada lingkungan kampus soal pentingnya menjaga data pribadi. “Tingkat literasi digital kita masih sangat rendah. Perlu sosialisasi dari pemerintah untuk menghimbau agar warga kampus melindungi datanya, mencegah berbagai kebocoran data pribadi yang dipegang badan publik dalam beberapa tahun terakhir sehingga badan publik sebagai pemangku kepentingan untuk ditingkatkan kesadarannya dalam perlindungan data,” pungkasnya.